RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA 
UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA


RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR … TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : 
 a. bahwa untuk mewujudkan upaya pembaharuan hukum nasional Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta untuk menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia antara lain perlu disusun hukum pidana nasional untuk menggantikan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) sebagai produk hukum pemerintahan zaman kolonial Hindia Belanda;
b. bahwa materi hukum pidana nasional tersebut harus disesuaikan dengan politik hukum, keadaan, dan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara bangsa Indonesia;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu dibentuk Undang-Undang tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana;

Mengingat : Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama 

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan 
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA.


BUKU KESATU
KETENTUAN UMUM

BAB I
RUANG LINGKUP BERLAKUNYA KETENTUAN PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN PIDANA

Bagian Kesatu 
Menurut Waktu

Pasal 1
(1) Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.
(2) Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang‑undangan.
(4) Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakatsebagaimana dimaksud pada ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.

Pasal 2
(1) Dalam hal terdapat perubahan peraturan perundang‑undangan sesudah perbuatan terjadi, diberlakukan peraturan perun­dang‑undangan yang baru dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lama berlaku apabila menguntungkan bagi pembuat.
(2) Dalam hal setelah putusan pemidanaan memperoleh kekuatan hukum tetap, perbuatan yang terjadi tidak lagi merupakan tindak pidana menurut peraturan perundang‑undangan yang baru, maka pelaksanaan putusan pemidanaan dihapuskan.
(3) Dalam hal setelah putusan pemidanaan memperoleh kekuatan hukum tetap, perbuatan yang terjadi diancam dengan pidana yang lebih ringan menurut peraturan perundang‑undangan yang baru, maka pelaksanaan putusan pemidanaan tersebut disesuaikan dengan batas‑batas pidana menurut peraturan perundang‑undangan yang baru.

Bagian Kedua
Menurut Tempat

Paragraf 1
Asas Wilayah atau Teritorial

Pasal 3 
Ketentuan pidana dalam peraturan perundang‑undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan:
a. tindak pidana di wilayah Negara Republik Indonesia;
b. tindak pidana dalam kapal atau pesawat udara Indonesia; atau
c. tindak pidana di bidang teknologi informasi yang akibatnya dirasakan atau terjadi di wilayah Indonesia dan dalam kapal atau pesawat udara Indonesia.

Paragraf 2
Asas Nasional Pasif

Pasal 4
Ketentuan pidana dalam peraturan perundang‑undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang di luar wilayah Negara Republik Indone­sia yang melakukan tindak pidana terhadap :
a. warga negara Indonesia; atau 
b. kepentingan negara Indonesia yang berhubungan dengan :

1. keamanan negara atau proses kehidupan ketatanegaraan; 
2. martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden dan pejabat Indonesia di luar negeri; 
3. pemalsuan dan peniruan segel, cap negara, meterai, uang/mata uang, kartu kredit, perekonomian, perdagangan dan perbankan Indonesia; 
4. keselamatan/keamanan pelayaran dan penerbangan ; 
5. keselamatan/keamanan bangunan, peralatan, dan aset nasional (negara Indonesia); 
6. keselamatan/keamanan peralatan komunikasi elektronik; 
7. tindak pidana jabatan/korupsi; dan/atau
8. tindak pidana pencucian uang.

Paragraf 3
Asas Universal

Pasal 5 
Ketentuan pidana dalam peraturan perundang‑undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Negara Republik Indone­sia melakukan tindak pidana menurut perjanjian atau hukum internasional yang telah dirumuskan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Pasal 6
Ketentuan pidana dalam peraturan perundang‑undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang penuntutannya diambil alih oleh Indonesia dari negara asing atas dasar suatu perjanjian yang memberikan kewenangan kepada Indonesia untuk menuntut pidana. 

Paragraf 4
Asas Nasional Aktif

Pasal 7 
(1) Ketentuan pidana dalam peraturan perundang‑undangan ­Indo­nesia berlaku bagi setiap warga negara Indonesia yang melakukan tindak pidana di luar wilayah negara Republik Indonesia.
(2) Ketentuan ayat (1) tidak berlaku untuk tindak pidana yang hanya diancam pidana denda Kategori I atau denda Kategori II.
(3) Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat juga dilakukan walaupun tersangka menjadi warga negara Indonesia setelah tindak pidana tersebut dilakukan. 
(4) Warga negara Indonesia yang di luar wilayah Negara Republik Indonesia melakukan tindak pidana sebagai­mana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dijatuhi pidana mati jika tindak pidana tersebut menurut hukum negara tempat tindak pidana tersebut dilakukan tidak diancam dengan pidana mati. 

Paragraf 5
Pengecualian

Pasal 8 
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7, penerapannya dibatasi oleh hal‑hal yang dikecualikan menurut hukum internasional. 

Bagian Ketiga
Waktu Tindak Pidana

Pasal 9 
Waktu tindak pidana adalah pada waktu pembuat melakukan perbuatan yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan. 

Bagian Keempat
Tempat Tindak Pidana

Pasal 10 
Tempat tindak pidana adalah: 
a. tempat pembuat melakukan perbuatan yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan; atau 
b. tempatterjadinya akibat yang dimaksud dalam peraturan perun­dang‑ undangan atau tempat yang menurut perkiraan pembuat akan terjadi akibat tersebut. 

BAB II

TINDAK PIDANA 
DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

Bagian Kesatu
Tindak Pidana 

Paragraf 1
Umum

Pasal 11 
(1) Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.
(2) Untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat.
(3) Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar. 

Pasal 12 
Dalam mempertimbangkan hukum yang akan diterapkan, hakim sejauh mungkin mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum.

Paragraf 3
Permufakatan Jahat

Pasal 13 
(1) Permufakatan jahat adalah kesepakatan 2 (dua) orang atau lebih untuk melakukan tindak pidana.
(2) Permufakatan jahat melakukan tindak pidana dipidana, jika ditentukan secara tegas dalam undang‑ undang.
(2) Pidana untuk permufakatan jahat melakukan tindak pidana adalah 1/3 (satu per tiga) dari ancaman pidana pokok untuk tindak pidana yang bersangkutan.
(3) Permufakatan jahat melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup, dipidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun. 
(4) Pidana tambahan untuk permufakatan jahat melakukan tindak pidana sama dengan tindak pidana yang bersangkutan

Pasal 14 
Permufakatan jahat melakukan tindak pidana tidak dipidana, jika yang bersangkutan:
a. menarik diri dari kesepakatan itu, atau 
b. mengambil langkah-langkah yang patut untuk mencegah terjadinya tindak pidana.

Paragraf 2
Persiapan

Pasal 15 
(1) Persiapan melakukan tindak pidana terjadi apabila pembuat berusaha untuk mendapatkan atau menyiapkan sarana, mengumpulkan informasi atau menyusun perencanaan tindakan atau melakukan tindakan-tindakan serupa yang dimaksudkan menciptakan kondisi untuk dilakukannya suatu perbuatan yang secara langsung ditujukan bagi penyelesaian tindak pidana, termasuk apabila pembuat dengan sengaja mendapatkan, membuat, menghasilkan, mengimpor, mengangkut, mengekspor, atau mempunyai dalam persediaan atau penyimpanan barang, uang atau alat pembayaran lainnya, alat penghantar informasi, tempat persembunyian atau transportasi yang dimaksudkan untuk melakukan tindak pidana.
(2) Persiapan melakukan tindak pidana dipidana, jika ditentukan secara tegas dalam undang-undang. 
(3) Pidan a untuk persiapan melakukan tindak pidana adalah 1/3 (satu pertiga) dari ancaman pidana pokok yang diancamkan untuk tindak pidana yang bersangkutan.
(4) Persiapan melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup, dipidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun. 
(5) Pidana tambahan untuk persiapan melakukan tindak pidana sama dengan tindak pidana yang bersangkutan.

Pasal 16 
Persiapan melakukan tindak pidana tidak dipidana, jika yang bersangkutan menghentikan, meninggalkan, atau mencegah kemungkinan digunakan sarana tersebut.

Paragraf 4
Percobaan

Pasal 17
(1) Percobaan melakukan tindak pidana dipidana, jika pembuat telah mulai melakukan permulaan pelaksanaan dari tindak pidana yang dituju, tetapi pelaksanaannya tidak selesai atau tidak mencapai hasil atau akibat yang dilarang.
(2) Ada permulaan pelaksanaan, jika:
a) pembuat telah melakukan perbuatan melawan hukum; 
b) perbuatan itu langsung mendekati terjadinya tindak pidana;
c) perbuatan yang dilakukan itu diniatkan atau ditujukan untuk terjadinya tindak pidana. 

Pasal 18
(1) Dalam hal setelah permulaan pelaksanaan dilakukan, pembuat tidak menyelesaikan perbuatannya karena kehendaknya sendiri secara sukarela, maka pembuat tidak dipidana.
(2) Dalam hal setelah permulaan pelaksanaan dilakukan, pembuat dengan kehendaknya sendiri mencegah tercapainya tujuan atau akibat perbuatannya, maka pembuat tidak dipidana. 
(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah menimbulkan kerugian atau menurut peraturan perundang‑undangan telah merupakan tindak pidana tersendiri, maka pembuat dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana tersebut. 

Pasal 19 
Percobaan melakukan tindak pidana yang hanya diancam dengan pidana denda Kategori I, tidak dipidana. 

Pasal 20 
Dalam hal tidak selesai atau tidak mungkin terjadinya tindak pidana disebabkan ketidakmampuan alat yang digunakan atau ketidakmampuan objek yang dituju, maka pembuat tetap dianggap telah melakukan percobaan tindak pidana dengan ancaman pidana tidak lebih dari 1/2 (satu per dua) maksimum pidana yang diancamkan untuk tindak pidana yang dituju.

Paragraf 5
Penyertaan

Pasal 21 
Dipidana sebagai pembuat tindak pidana, setiap orang yang :
a. melakukan sendiri tindak pidana;
b. melakukan tindak pidana dengan perantaraan alat atau orang lain yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan;
c. turut serta melakukan; atau
d. memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalah­gunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman, atau penye­satan, atau dengan memberi kesempatan, sarana, atau keterangan, menganjurkan orang lain supaya melakukan tindak pidana.

Pasal 22 
(1) Dipidana sebagai pembantu tindak pidana, setiap orang yang :
a. memberi bantuan pada waktu tindak pidana dilakukan; atau
b. memberi kesempatan, sarana, atau keterangan untuk melakukan tindak pidana. 
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ­berlaku untuk pembantuan terhadap tindak pidana yang diancam dengan pidana denda Kategori I.

Pasal 23 
Keadaan pribadi seseorang yang menghapuskan, mengurangi, atau membe­ratkan penjatuhan pidana hanya diberlakukan terhadap pembuat atau pembantu tindak pidana yang bersangkutan. 

Paragraf 6
Pengulangan

Pasal 24 
Pengulangan tindak pidana terjadi, apabila orang melakukan tindak pidana lagi dalam waktu 5 (lima) tahun sejak :
a. menjalani seluruh atau sebagian pidana pokok yang dijatuhkan;
b. pidana pokok yang dijatuhkan telah dihapuskan; atau
c. kewajiban menjalani pidana pokok yang dijatuhkan belum daluwarsa.

Paragraf 7 
Tindak Pidana Aduan

Pasal 25 
(1) Dalam hal-hal tertentu, tindak pidana hanya dapat dituntut atas dasar pengaduan.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan secara tegas dalam undang-undang.
(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mensyaratkan adanya pengaduan secara mutlak, penuntutan dilaku­kan kepada semua peserta, walaupun tidak disebutkan oleh pengadu.

Pasal 26 
(1) Dalam hal orang yang terkena tindak pidana aduan belum berumur 16 (enam belas) tahun dan belum kawin atau berada di bawah pengampuan, maka yang berhak mengadu adalah wakilnya yang sah menurut hukum perdata. 
(2) Dalam hal wakil yang sah tidak ada, maka penuntutan dilakukan atas pengaduan wali pengawas atau majelis yang menjadi wali pengawas atau pengampu pengawas, atau atas dasar pengaduan istrinya atau keluarga sedarah dalam garis lurus.
(3) Dalam hal wakil sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak ada, maka peng-aduan dilakukan oleh keluarga sedarah dalam garis menyamping sampai derajat ketiga.

Pasal 27 
(1) Dalam hal yang terkena tindak pidana aduan meninggal dunia dalam tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 maka pengaduan dapat dilakukan oleh orang tuanya, anaknya, suaminya, atau isterinya yang masih hidup.
(2) Hak pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) gugur, jika yang meninggal sebelumnya tidak menghendaki penuntutan.

Pasal 28 
(1) Pengaduan dilakukan dengan cara menyampaikan pemberitahuan dan permo­honan untuk dituntut.
(2) Pengaduan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan secara tertulis kepada pejabat yang berwenang.

Pasal 29 
(1) Pengaduan harus diajukan dalam tenggang waktu :
a. 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal orang yang berhak mengadu mengetahui adanya tindak pidana, jika yang berhak mengadu bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia; atau
b. 9 (sembilan) bulan terhitung sejak tanggal orang yang berhak mengadu mengetahui adanya tindak pidana, jika yang berhak mengadu bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia.
(2) Jika yang berhak mengadu lebih dari seorang, maka tenggang wak­tu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak masing‑masing mengetahui adanya tindak pidana.

Pasal 30 
(1) Pengaduan dapat ditarik kembali dalam waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal pengaduan diajukan.
(2) Pengaduan yang ditarik kembali tidak dapat diajukan lagi.

Paragraf 8 
Alasan Pembenar

Pasal 31 
Tidak dipidana, setiap orang yang melakukan tindak pidana karena melaksanakan peraturan perundang‑undangan.

Pasal 32 
Tidak dipidana, setiap orang yang melakukan tindak pidana karena melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh pejabat yang berwenang. 

Pasal 33 
Tidak dipidana, setiap orang yang melakukan tindak pidana karena keadaan darurat. 

Pasal 34 
Tidak dipidana, setiap orang yang terpaksa melakukan tindak pidana karena pembelaan terhadap serangan seketika atau ancaman serangan segera yang melawan hukum terhadap diri sendiri atau orang lain, kehormatan kesusilaan, harta benda sendiri atau orang lain. 

Pasal 35 
Termasuk alasan pembenar ialah tidak adanya sifat melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2).

Bagian Kedua
Pertanggungjawaban Pidana

Paragraf 1
Umum

Pasal 36
Pertanggungjawaban pidana ialah diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada tindak pidana dan secara subyektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya itu. 

Paragraf 2
Kesalahan

Pasal 37 
(1) Tidak seorang pun yang melakukan tindak pidana dipidana tanpa kesalahan.
(2) Kesalahan terdiri dari kemampuan bertanggungjawab, kesengajaan, kealpaan, dan tidak ada alasan pemaaf.

Pasal 38 
(1) Bagi tindak pidana tertentu, undang‑undang dapat menentukan bah­wa seseorang dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhi­nya unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalahan.
(2) Dalam hal ditentukan oleh undang-undang, setiap orang dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain, 

Paragraf 3
Kesengajaan dan Kealpaan

Pasal 39 
(1) Seseorang hanya dapat dipertanggungjawabkan jika orang tersebut melakukan tindak pidana dengan sengaja atau karena kealpaan.
(2) Perbuatan yang dapat dipidana adalah perbuatan yang ­di­lakukan deng­an sengaja, kecuali peraturan perundang‑undangan menentukan secara tegas bahwa suatu tindak pidana yang dilakukan dengan kealpaan dapat dipidana.
(3) Seseorang hanya dapat dipertanggungjawabkan terhadap akibat tindak pidana tertentu yang oleh undang-undang diperberat ancaman pidananya, jika ia sepatutnya mengetahui kemungkinan terjadinya akibat tersebut atau sekurang-kurangnya ada kealpaan.

Paragraf 4
Kemampuan Bertanggung Jawab

Pasal 40 
Setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana menderita gangguan jiwa, penyakit jiwa atau retardasi mental, tidak dapat diper­tanggungjawabkan dan dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenakan tindakan.

Pasal 41 
Setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana kurang dapat dipertanggungjawabkan karena menderita gangguan jiwa, penyakit jiwa, atau retardasi mental, pidananya dapat diku­rangi atau dikenakan tindakan. 

Paragraf 5
Alasan Pemaaf

Pasal 42 
(1) Tidak dipidana, jika seseorang tidak menge­tahui atau sesat mengenai keadaan yang merupakan unsur tindak pidana atau berkeyakinan bahwa perbuatannya tidak merupakan suatu tindak pidana, kecuali ketidaktahuan, kesesatan, atau keyakinannya itu patut dipersalahkan kepadanya.
(2) Jika seseorang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) patut dipersalahkan atau dipidana, maka maksimum pidananya dikurangi dan tidak melebihi 1/2 (satu perdua) dari maksimum pidana untuk tindak pidana yang dilakukan.

Pasal 43 
Tidak dipidana, seseorang yang melakukan tindak pidana karena : 
a. dipaksa oleh kekuatan yang tidak dapat ditahan, atau 
b. dipaksa oleh adanya ancaman, tekanan atau kekuatan yang tidak dapat dihindari.

Pasal 44 
Tidak dipidana, setiap orang yang melakukan pembelaan terpak­sa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan seketika atau a

Pasal 45 
Perintah jabatan yang diberikan tanpa wewenang tidak mengaki­batkan hapusnya pidana, kecuali jika orang yang diperintahkan dengan iktikad baik mengira bahwa perintah tersebut diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya. 

Pasal 46 
Termasuk alasan pemaaf ialah :
a. tidak ada kesalahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1);
b. pada waktu melakukan tindak pidana menderita gangguan jiwa, penyakit jiwa, atau retardasi mental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40; atau
c. belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (1).

Paragraf 6 
Korporasi

Pasal 47 
Korporasi merupakan subyek tindak pidana.

Pasal 48 
Tindak pidana dilakukan oleh korporasi apabila dilakukan oleh orang-orang yang bertindak untuk dan atas nama korporasi atau demi kepentingan korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasar hubungan lain, dalam lingkup usaha korporasi tersebut, baik sendiri-sendiri atau bersama-sama.

Pasal 49 
Jika tindak pidana dilakukan oleh korporasi, pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya. 

Pasal 50 
Korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu perbuatan yang dilakukan untuk dan/atau atas nama korporasi, jika perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersang­kutan. 

Pasal 51 
Pertanggungjawaban pidana pengurus korporasi dibatasi sepan­jang pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi. 

Pasal 52 
(1) Dalam mempertimbangkan suatu tuntutan pidana, harus diper­timbang­kan apakah bagian hukum lain telah memberikan perlindungan yang lebih berguna daripada menjatuhkan pidana terhadap suatu korporasi.
(2) Pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dinyata­kan dalam putusan hakim.

Pasal 53 
Alasan pemaaf atau alasan pembenar yang dapat diajukan oleh pembuat yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi, dapat diajukan oleh korporasi sepanjang alasan tersebut langsung berhubungan dengan perbuatan yang didakwakan kepada korporasi. 

BAB III 
PEMIDANAAN, PIDANA, DAN TINDAKAN

Bagian Kesatu 
Pemidanaan

Paragraf 1
Tujuan Pemidanaan

Pasal 54 
(1) Pemidanaan bertujuan:
a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegak­kan norma hukum demi pengayoman masyarakat; 
b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;dan
d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendah­kan martabat manusia.

Paragraf 2
Pedoman Pemidanaan

Pasal 55 
(1) Dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan :
a. kesalahan pembuat tindak pidana;
b. motif dan tujuan melakukan tindak pidana;
c. sikap batin pembuat tindak pidana;
d. apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana;
e. cara melakukan tindak pidana
f. sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana
g. riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat tindak pidana;
h. pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana;
i. pengaruh tindak pidana terhadap korban atau ­ke­luarga korban; 
j. Pemaafan dari korban dan/atau keluarganya ; dan/atau
k. pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang ­dilakukan
(2) Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pembuat atau kea­daan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan. 

Pasal 56 
Seseorang yang melakukan tindak pidana tidak dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana berdasarkan alasan penghapus pida­na, jika orang tersebut telah dengan sengaja menyebabkan terjadinya keadaan yang dapat menjadi alasan penghapus pidana tersebut. 

Paragraf 3
Perubahan atau Penyesuaian Pidana

Pasal 57 
(1) Putusan pidana dan tindakan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dilakukan perubahan atau penyesuaian dengan mengingat perkembangan narapidana dan tujuan pemidanaan.
(2) Perubahan atau penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas permohonan narapidana, orang tua, wali atau penasihat hukumnya, atau atas permintaan jaksa penuntut umum atau hakim pengawas.
(3) Perubahan atau penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh lebih berat dari putusan semula dan harus dengan persetujuan narapidana.
(4) Perubahan atau penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa :
a. pencabutan atau penghentian sisa pidana atau tindakan; atau
b. penggantian jenis pidana atau tindakan lainnya.
(5) Jika permohonan perubahan atau penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak oleh pengadilan, maka permohonan baru dapat diajukan lagi setelah 1 (satu) tahun sejak penolakan.
(6) Jika terdapat keadaan khusus yang menunjukkan permohonan tersebut pantas untuk dipertimbangkan sebelum batas waktu 1 (satu) tahun, maka ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak berlaku.

Paragraf 4
Pedoman Penerapan Pidana Penjara dengan Perumusan Tunggal dan Perumusan Alternatif

Pasal 58 
(1) Jika seseorang melakukan tindak pidana yang hanya diancam dengan pidana penjara, sedangkan hakim berpendapat tidak perlu menjatuhkan pidana penjara setelah mempertimbangkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dan Pasal 55 maka orang tersebut dapat dijatuhi pidana denda.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi orang yang pernah dijatuhi pidana penjara untuk tindak pidana yang dilakukan setelah berumur 18 (dela­pan belas) tahun.
(3) Pidana denda yang dapat dijatuhkan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah denda paling banyak menurut Kategori V dan denda paling sedikit menurut Kategori III.
(4) Jika tujuan pemidanaan tidak dapat dicapai hanya dengan penjatuhan pidana penjara, maka untuk tindak pidana terhadap harta benda yang hanya diancam dengan pidana penjara dan mempunyai sifat merusak tatanan sosial dalam masyarakat, dapat dijatuhi pidana denda paling banyak Kategori V bersama‑sama dengan pidana penjara.

Pasal 59 
(1) Jika tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda maka dapat dijatuhkan pidana tambahan atau tindakan.
(2) Terhadap orang yang telah berulang kali dijatuhi pidana denda untuk tindak pidana yang hanya diancam dengan pidana denda, dapat dijatuhi pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana pengawasan bersama-sama dengan pidana denda.

Pasal 60 
(1) Jika suatu tindak pidana diancam dengan pidana pokok secara alternatif, maka penjatuhan pidana pokok yang lebih ringan harus lebih diutamakan apabila hal itu dipandang telah sesuai dan dapat menunjang tercapainya tujuan pemidanaan.
(2) Jika pidana penjara dan denda diancamkan secara alternatif, maka untuk tercapainya tujuan pemidanaan, kedua jenis pidana pokok tersebut dapat dijatuhkan secara kumulatif, dengan ketentuan tidak melampaui separuh batas maksimum kedua jenis pidana pokok yang diancamkan tersebut. 
(3) Jika dalam menerapkan ketentuan ayat (2), dipertimbangkan untuk menjatuhkan pidana pengawasan berda­sar­kan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 dan Pasal 78 ayat (1) dan ayat (2), maka tetap dapat dijatuhkan pidana denda paling banyak separuh dari maksimum pidana denda yang diancamkan tersebut bersama‑sama dengan pidana pengawasan.

Paragraf 5
Lain-lain Ketentuan Pemidanaan

Pasal 61 
Pidana penjara dan pidana tutupan bagi terdakwa yang sudah berada dalam tahanan, mulai berlaku pada saat putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, sedangkan bagi terdakwa yang tidak berada di dalam tahanan, pidana tersebut berlaku pada saat putusan mulai dilaksanakan.

Pasal 62 
(1) Dalam putusan ditetapkan bahwa masa penangkapan dan masa penahanan yang dijalani terdakwa sebelum putusan memperoleh kekuatan hukum tetap, dikurangkan seluruhnya atau sebagian dari pidana penjara untuk waktu tertentu atau dari pidana penjara pengganti denda atau dari pidana denda yang dijatuhkan. 
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku juga bagi terpidana yang berada dalam tahanan untuk berbagai perbuatan dan dijatuhi pidana untuk perbuatan lain daripada yang menyebabkan terpidana berada dalam tahanan 

Pasal 63 
(1) Jika narapidana yang berada dalam lembaga pemasyarakatan mengajukan permohonan grasi, maka waktu antara pengajuan permohonan grasi dan saat dikeluarkan Keputusan Presiden tidak menunda pelaksanaan pidana yang telah dijatuhkan.
(2) Jika terpidana berada di luar lembaga pemasyarakatan mengajukan permohonan grasi, maka waktu antara mengajukan permohonan grasi dan saat dikeluarkan Keputusan Presiden tentang grasi tidak dihitung sebagai waktu menjalani pidana. 
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku jika Presiden menentukan lain.

Pasal 64 
Jika narapidana melarikan diri, maka masa selama narapidana melarikan diri tidak diperhitungkan sebagai waktu menjalani pidana penjara.

Bagian Kedua
Pidana

Paragraf 1
Jenis Pidana

Pasal 65 
(1) Pidana pokok terdiri atas 
a. pidana penjara;
b. pidana tutupan;
c. pidana pengawasan;
d. pidana denda; dan 
e. pidana kerja sosial.
(2) Urutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menen­tukan berat ringannya pidana.

Pasal 66 
Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif.

Pasal 67 
(1) Pidana tambahan terdiri atas :
a. pencabutan hak tertentu;
b. perampasan barang tertentu dan/atau tagihan; 
c. pengumuman putusan hakim;
d. pembayaran ganti kerugian; dan
e. pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup. 
(2) Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana tambahan yang lain.
(3) Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup atau pencabutan hak yang diperoleh korporasi dapat dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam perumusan tindak pidana.
(4) Pidana tambahan untuk percobaan dan pembantuan adalah sama dengan pidana tambahan untuk tindak pidananya.

Pasal 68 
Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65, Pasal 66, dan Pasal 67 diatur dengan undang‑undang tersendiri. 

Paragraf 2
Pidana Penjara

Pasal 69 
(1) Pidana penjara dijatuhkan untuk seumur hidup atau ­un­tuk waktu tertentu.
(2) Pidana penjara untuk waktu tertentu dijatuhkan paling lama 15 (lima belas) tahun berturut‑turut atau paling singkat 1 (satu) hari, kecuali ditentukan minimum khusus.
(3) Jika dapat dipilih antara pidana mati dan pidana penjara seumur hidup atau jika ada pemberatan pidana atas tindak pidana yang dijatuhi pidana penjara 15 (lima belas) tahun, maka pidana penjara untuk waktu tertentu dapat dijatuhkan untuk waktu 20 (dua puluh) tahun berturut‑turut.
(4) Dalam hal bagaimanapun pidana penjara untuk waktu tertentu tidak boleh dijatuhkan lebih dari 20 (dua puluh) tahun.

Pasal 70 
(1) Jika terpidana seumur hidup telah menjalani pidana paling kurang 10 (sepuluh) tahun pertama dengan berkelakuan baik, maka sisa pidana tersebut dapat diubah menjadi pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan perubahan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 

Pasal 71 
Dengan tetap mempertimbangkan Pasal 54 dan Pasal 55, pidana penjara sejauh mungkin tidak dijatuhkan jika dijumpai keadaan‑keadaan sebagai berikut: 
a. terdakwa berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun atau di atas 70 (tujuh puluh) tahun;
b. terdakwa baru pertama kali melakukan tindak pidana;
c. kerugian dan penderitaan korban tidak terlalu besar;
d. terdakwa telah membayar ganti kerugian kepada korban;
e. terdakwa tidak mengetahui bahwa tindak pidana yang dilakukan akan menimbulkan kerugian yang besar;
f. tindak pidana terjadi karena hasutan yang sangat kuat dari orang lain;
g. korban tindak pidana mendorong terjadinya tindak pidana tersebut;
h. tindak pidana tersebut merupakan akibat dari suatu ­ke­adaan yang tidak mungkin terulang lagi;
i. kepribadian dan perilaku terdakwa meyakinkan bahwa ia tidak akan melakukan tindak pidana yang lain;
j. pidana penjara akan menimbulkan penderitaan yang besar bagi terdakwa atau keluarganya;
k. pembinaan yang bersifat noninstitusional diperkirakan akan cukup berhasil untuk diri terdakwa;
l. penjatuhan pidana yang lebih ringan tidak akan mengurangi sifat beratnya tindak pidana yang dilakukan terdakwa;
m. tindak pidana terjadi di kalangan keluarga; atau 
n. terjadi karena kealpaan.

Pasal 72 
(1) Narapidana yang telah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) dari pidana penjara yang dijatuhkan, dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan dan berkelakuan baik dapat diberikan pembebasan bersyarat sebagai Klien Pemasyarakatan oleh Menteri yang bertanggungjawab di bidang hukum. 
(2) Terpidana yang menjalani beberapa pidana penjara berturut‑turut, jumlah pidananya dianggap sebagai 1 (satu) pidana. 
(3) Dalam memberikan pembebasan bersyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan masa percobaan dan syarat‑syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan. 
(4) Masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sama dengan sisa waktu pidana penjara yang belum dijalani ditambah dengan 1 (satu) tahun.
(5) Narapidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang ditahan se­ba­gai tersangka atau terdakwa dalam perkara lain, waktu tahan­annya tidak diperhitungkan sebagai masa percobaan.
(6) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan pembebasan bersyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 73 
(1) Syarat‑syarat yang harus dipenuhi selama masa perco­baan sebagai­mana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (3) adalah:
a. Klien Pemasyarakatan tidak akan melakukan tindak pidana; dan 
b. Klien Pemasyarakatan harus melakukan atau tidak melakukan perbuatan tertentu, tanpa mengurangi kemerdekaan beragama dan berpolitik. 
(2) Syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) butir b dapat diubah, dihapus, atau diadakan syarat baru, yang semata‑mata bertujuan membina terpidana.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 74 
(1) Pembebasan bersyarat tidak dapat ditarik kembali setelah melam­paui 3 (tiga) bulan terhitung sejak saat habisnya masa percobaan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku jika sebelum waktu 3 (tiga) bulan, Klien Pemasyarakatan dituntut karena melakukan tindak pidana dalam masa percobaan dan tuntutan berakhir karena putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 
(3) Jangka waktu antara saat mulai menjalani pembebasan bersyarat dan menjalani kembali pidana tidak dihitung sebagai menjalani pidana.

Pasal 75 
(1) Keputusan pembebasan bersyarat ditetapkan oleh Menteri yang bertanggungjawab di bidang hukum setelah mendapat pertimbangan dari Tim Pengamat Pemasyarakatan dan hakim pengawas.
(2) Jika terjadi pelanggaran terhadap salah satu syarat, maka Balai Pemasyarakatan memberitahukan hal tersebut kepada hakim pengawas.
(3) Pencabutan pembebasan bersyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri yang bertanggungjawab di bidang hukum atas usul hakim pengawas.
(4) Jika Klien Pemasyarakatan melanggar syarat‑syarat yang diberikan, maka hakim pengawas dapat mengusulkan kepada Menteri yang bertanggungjawab di bidang hukum agar pembebasan bersyarat dicabut.
(5) Jika hakim pengawas mengusulkan pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka hakim pengawas dapat memberi perintah kepada polisi agar Klien Pemasyarakatan ditahan dan hal tersebut diberitahukan kepada Menteri yang bertanggungjawab di bidang hukum.
(6) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) paling lama 60 (enam puluh) hari.
(7) Jika penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disusul dengan penghentian sementara waktu atau pencabutan pembebasan bersyarat, maka Klien Pemasyarakatan dianggap meneruskan menjalani pidana sejak saat ditahan.
(8) Selama masa percobaan, pengawasan, dan pembinaan Klien Pemasyarakatan dilakukan oleh Balai Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.

Paragraf 3
Pidana Tutupan

Pasal 76
(1) Orang yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara, mengingat keadaan pribadi dan perbuatan­nya dapat dijatuhi pidana tutupan.
(2) Pidana tutupan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dijatuhkan kepada terdakwa yang melakukan tindak pidana karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku, jika cara melakukan atau akibat dari perbuatan tersebut sedemikian rupa sehingga terdakwa lebih tepat untuk dijatuhi pidana penjara.

Paragraf 4
Pidana Pengawasan

Pasal 77 
Terdakwa yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun, dapat dijatuhi pidana pengawasan. 

Pasal 78 
(1) Pidana pengawasan dapat dijatuhkan kepada terdakwa mengingat keadaan pribadi dan perbuatannya.
(2) Pidana pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijatuhkan untuk waktu paling lama 3 (tiga) tahun.
(3) Dalam penjatuhan pidana pengawasan dapat ditetapkan syarat‑syarat:
a. terpidana tidak akan melakukan tindak pidana; 
b. terpidana dalam waktu tertentu yang lebih pendek dari masa pidana pengawasan, harus mengganti seluruh atau sebagian kerugian yang timbul oleh tindak pidana yang dilakukan; dan/ atau 
c. terpidana harus melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan tertentu, tanpa mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan berpolitik. 
(4) Pengawasan dilakukan oleh Balai Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. 
(5) Jika selama dalam pengawasan terpidana melanggar hukum, maka Balai Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dapat mengusulkan kepada hakim pengawas untuk memperpanjang masa pengawasan yang lamanya tidak melampaui maksimum 2 (dua) kali masa pengawasan yang belum dijalani.
(6) Jika selama dalam pengawasan terpidana menunjukkan kelaku­an yang baik, maka Balai Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dapat mengusulkan kepada hakim pengawas untuk memperpendek masa pengawasannya.
(7) Hakim pengawas dapat mengubah penetapan jangka waktu pengawasan setelah mendengar para pihak.

Pasal 79 
(1) Jika terpidana selama menjalani pidana pengawasan melakukan tindak pidana dan dijatuhi pidana yang bukan pidana mati atau bukan pidana penjara, maka pidana pengawasan tetap dilaksanakan.
(2) Jika terpidana dijatuhi pidana penjara, maka pidana pengawasan ditunda dan dilaksanakan kembali setelah terpidana selesai menjalani pidana penjara.

Paragraf 5
Pidana Denda

Pasal 80 
(1) Pidana denda merupakan pidana berupa sejumlah uang yang wajib dibayar oleh terpidana berdasarkan putusan pengadilan. 
(2) Jika tidak ditentukan minimum khusus maka pidana denda paling sedikit Rp 15.000,00 (lima belas ribu rupiah). 
(3) Pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan kategori, yaitu :
a. kategori I Rp 1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah);
b. kategori II Rp 7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah);
c. kategori III Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah); 
d. kategori IV Rp 75.000.000,00 (tujuh puluh juta lima ratus ribu rupiah);
e. kategori V Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah); dan
f. kategori VI Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). 
(4) Pidana denda paling banyak untuk korporasi adalah kategori lebih tinggi berikutnya.
(5) Pidana denda paling banyak untuk korporasi yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan :
a. pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun adalah denda Kategori V; 
b. pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun adalah denda Kategori VI.
(6) Pidana denda paling sedikit untuk korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) adalah denda Kategori IV.
(7) Dalam hal terjadi perubahan nilai uang, ketentuan besarnya denda ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 81 
(1) Dalam penjatuhan pidana denda, wajib dipertimbangkan kemampuan terpidana.
(2) Dalam menilai kemampuan terpidana, wajib diperhatikan apa yang dapat dibelanjakan oleh terpidana sehubungan dengan keadaan pribadi dan kemasyarakatannya.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak mengurangi untuk tetap diterapkan minimum khusus pidana denda yang ditetapkan untuk tindak pidana tertentu.

Paragraf 6
Pelaksanaan Pidana Denda

Pasal 82 
(1) Denda dapat dibayar dengan cara mencicil dalam tenggang waktu sesuai dengan putusan hakim.
(2) Jika denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dibayar penuh dalam tenggang waktu yang ditetapkan, maka untuk denda yang tidak dibayar tersebut dapat diambil dari kekayaan atau pendapatan terpidana.

Paragraf 7
Pidana Pengganti Denda Kategori I

Pasal 83 
(1) Jika pengambilan kekayaan atau pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (2) tidak memungkinkan, maka denda yang tidak dibayar tersebut diganti dengan pidana kerja sosial, pidana pengawasan, atau pidana penjara, dengan ketentuan denda tersebut tidak melebihi denda Kategori I.
(2) Lamanya pidana pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: 
a. untuk pidana kerja sosial pengganti, berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (3) dan ayat (4);
b. untuk pidana pengawasan, paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun; 
c. untuk pidana penjara pengganti, paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun yang dapat diperberat paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan jika ada pemberatan pidana denda karena perbarengan atau karena adanya faktor pemberatan pidana sebagai-mana dimaksud dalam Pasal 134 .
(3) Perhitungan lamanya pidana pengganti didasarkan pada ukuran, untuk tiap denda denda Rp 2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah) atau kurang, disepadankan dengan:
a. 1 (satu) jam pidana kerja sosial pengganti; 
b. 1 (satu) hari pidana pengawasan atau pidana penjara pengganti.
(4) Jika setelah menjalani pidana pengganti, sebagian pidana denda dibayar, maka lamanya pidana pengganti dikurangi menurut ukuran yang sepadan sebagaimana ketentuan dalam ayat (3).

Paragraf 8
Pidana Pengganti Denda Melebihi Kategori I

Pasal 84 
(1) Jika pengambilan kekayaan atau pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (2) tidak dapat dilakukan, maka untuk denda di atas kategori I yang tidak dibayar diganti dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama sebagaimana yang diancamkan untuk tindak pidana yang bersangkutan.
(2) Ketentuan Pasal 83 ayat (4) berlaku untuk pasal ini sepanjang mengenai pidana penjara pengganti.

Paragraf 9
Pidana Pengganti Denda untuk Korporasi

Pasal 85 
Jika pengambilan kekayaan atau pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (2) tidak dapat dilakukan maka untuk korporasi dikenakan pidana pengganti berupa pencabutan izin usaha atau pembubaran korporasi.

Paragraf 10
Pidana Kerja Sosial

Pasal 86 
(1) Jika pidana penjara yang akan dijatuhkan tidak lebih dari 6 (enam) bulan atau pidana denda tidak lebih dari denda Kategori I, maka pidana penjara atau pidana denda tersebut dapat diganti dengan pidana kerja sosial.
(2) Dalam penjatuhan pidana kerja sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dipertimbangkan hal‑hal sebagai berikut :
a. pengakuan terdakwa terhadap tindak pidana yang dilakukan;
b. usia layak kerja terdakwa menurut peraturan perundang ‑ undangan yang berlaku; 
c. persetujuan terdakwa sesudah dijelaskan mengenai tujuan dan segala hal yang berhubungan dengan pidana kerja sosial;
d. riwayat sosial terdakwa;
e. perlindungan keselamatan kerja terdakwa;
f. keyakinan agama dan politik terdakwa; dan
g. kemampuan terdakwa membayar denda.
(3) Pelaksanaan pidana kerja sosial tidak boleh dikomersialkan.
(4) Pidana kerja sosial dijatuhkan paling lama:
a. Dua ratus empat puluh jam bagi terdakwa yang telah berusia 18 (delapan belas) tahun ke atas; dan
b. Seratus dua puluh jam bagi terdakwa yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun. 
(5) Pidana kerja sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling singkat 7 (tujuh) jam.
(6) Pelaksanaan pidana kerja sosial dapat diangsur dalam waktu paling lama 12 (dua belas) bulan dengan memperhatikan kegiatan terpidana dalam menjalankan mata pencahariannya dan/atau kegiatan lain yang bermanfaat.
(7) Jika terpidana tidak memenuhi seluruh atau sebagian kewajiban menjalankan pidana kerja sosial tanpa alasan yang sah, maka terpidana diperintahkan:
a. mengulangi seluruh atau sebagian pidana kerja sosial tersebut; 
b. menjalani seluruh atau sebagian pidana penjara yang diganti dengan pidana kerja sosial tersebut; atau
c. membayar seluruh atau sebagian pidana denda yang diganti dengan pidana kerja sosial atau menjalani pidana penjara sebagai peng­ganti denda yang tidak dibayar. 

Paragraf 11
Pidana Mati

Pasal 87 
Pidana mati secara alternatif dijatuhkan sebagai upayaterakhir untuk mengayomi masyarakat.

Pasal 88 
(1) Pidana mati dilaksanakan dengan menembak terpidana sampai mati oleh regu tembak.
(2) Pidana mati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan di muka umum.
(3) Pelaksanaan pidana mati terhadap wanita hamil atau orang yang sakit jiwa ditunda sampai wanita tersebut melahirkan atau orang yang sakit jiwa tersebut sembuh.
(4) Pidana mati baru dapat dilaksanakan setelah permohonan grasi bagi terpidana ditolak Presiden.

Pasal 89 
(1) Pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun, jika:
a. reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar; 
b. terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki; 
c. kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu penting; dan 
d. ada alasan yang meringankan. 
(2) Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dengan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
(3) Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, maka pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.

Pasal 90 
Jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 (sepuluh) tahun bukan karena terpidana melarikan diri, maka pidana mati tersebut dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Presiden. 

Paragraf 12
Pidana Tambahan

Pasal 91 
(1) Hak‑hak terpidana yang dapat dicabut adalah :
a. hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu; 
b. hak menjadi anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia; 
c. hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan peraturan perundang‑undangan yang berlaku; 
d. hak menjadi penasihat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan; 
e. hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu, atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anaknya sendiri; 
f. hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampu atas anaknya sendiri; dan/atau 
g. hak menjalankan profesi tertentu. 
(2) Jika terpidana adalah korporasi, maka hak yang dicabut adalah segala hak yang diperoleh korporasi. 

Pasal 92 
Kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan, pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) butir a dan butir b, hanya dapat dilakukan jika pembuat dipidana karena: 
a. melakukan tindak pidana jabatan atau tindak pidana yang melanggar kewajiban khusus suatu jabatan; atau
b. menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang diberikan kepada terpidana karena jabatannya.

Pasal 93 
Kekuasaan bapak, wali, wali pengawas, pengampu, dan pengampu pengawas, baik atas anaknya sendiri maupun atas anak orang lain dapat dicabut jika yang bersangkutan dipidana karena: 
a. dengan sengaja melakukan tindak pidana bersama‑sama dengan anak yang belum cukup umur yang berada dalam kekuasaannya; atau
b. melakukan tindak pidana terhadap anak yang belum cukup umur yang berada dalam kekuasaannya sebagaimana dimaksud dalam Buku Kedua.

Pasal 94 
(1) Jika pidana pencabutan hak dijatuhkan, maka wajib ditentukan lamanya pencabutan sebagai berikut:
a. dalam hal dijatuhkan pidana mati atau pidana seumur hidup, pencabutan hak untuk selamanya; 
b. dalam hal dijatuhkan pidana penjara, pidana tutupan, atau pidana pengawasan untuk waktu tertentu, pencabutan hak paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun lebih lama dari pidana pokok yang dijatuhkan; 
c. dalam hal pidana denda, pencabutan hak paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun. 
(2) Jika pidana pencabutan hak dijatuhkan pada korpora­si, maka hakim bebas dalam menentukan lama pencabutan hak tersebut. 
(3) Pidana pencabutan hak mulai berlaku pada tanggal putusan hakim dapat dilaksanakan.

Pasal 95
(1) Pidana perampasan barang dan/atau tagihan tertentu dapat dijatuhkan tanpa pidana pokok jika ancaman pidana penjara terhadap tindak pidana yang bersangkutan tidak lebih dari 7 (tujuh) tahun.
(2) Pidana perampasan barang tertentu dan/atau tagihan dapat juga dijatuhkan jika terpidana hanya dikenakan tindakan.
(3) Pidana perampasan barang yang bukan milik terpidana tidak dapat dijatuhkan jika hak pihak ketiga dengan itikad baik akan terganggu.
Pasal 96 

Barang yang dapat dirampas adalah :
a. barang dan/atau tagihan milik terpidana atau orang lain yang diperoleh dari tindak pidana;
b. barang yang ada hubungan dengan terwujudnya tindak pidana;
c. barang yang dipergunakan untuk mewujudkan atau mempersiapkan tindak pidana;
d. barang yang dipergunakan untuk menghalang‑halangi penyidikan tindak pidana; dan/atau
e. barang yang khusus dibuat atau diperuntukkan untuk mewujudkan tindak pidana.

Pasal 97 
(1) Pidana perampasan dapat dijatuhkan atas barang yang tidak disita, dengan menentukan apakah barang tersebut harus diserahkan atau diganti dengan sejumlah uang menurut penafsiran hakim.
(2) Jika barang yang disita tidak dapat diserahkan, maka dapat diganti dengan sejumlah uang menurut taksiran hakim sebagai menetapkan harga lawannya.
(3) Jika terpidana tidak mampu membayar seluruh atau sebagian harga lawan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), maka berlaku ketentuan pidana pengganti untuk pidana denda.

Pasal 98 
(1) Jika dalam putusan hakim diperintahkan supaya putusan diumumkan, maka harus ditetapkan cara melaksanakan pengumuman tersebut dengan biaya yang ditanggung oleh terpidana.
(2) Jika biaya pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dibayar oleh terpidana, maka berlaku keten­tuan pidana penjara pengganti untuk pidana denda.

Pasal 99 
(1) Dalam putusan hakim dapat ditetapkan kewajiban terpidana untuk melaksanakan pembayaran ganti kerugian kepada korban atau ahli warisnya.
(1) Jika kewajiban pembayaran ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan, maka berlaku ketentuan pidana penjara pengganti untuk pidana denda.

Pasal 100 
(1) Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 1 ayat (4) hakim dapat menetapkan pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup.
(2) Pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pidana pokok atau yang diutamakan, jika tindak pidana yang dilakukan memenuhi ketentuan sebagai­mana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3).
(3) Kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap sebanding dengan pidana denda Kategori I dan dapat dikenakan pidana pengganti untuk pidana denda, jika kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup itu tidak dipenuhi atau tidak dijalani oleh terpidana.
(4) Pidana pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat juga berupa pidana ganti kerugian.

Bagian Ketiga
Tindakan

Pasal 101 
(1) Setiap orang yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimak­sud da­lam Pasal 40 dan Pasal 41, dapat dikenakan tindakan berupa :
a. perawatan di rumah sakit jiwa;
b. penyerahan kepada pemerintah; atau
c. penyerahan kepada seseorang.
(2) Tindakan yang dapat dikenakan bersama‑sama dengan pidana pokok berupa:
a. pencabutan surat izin mengemudi;
b. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
c. perbaikan akibat tindak pidana;
d. latihan kerja; 
e. rehabilitasi; dan/atau
f. perawatan di lembaga.

Pasal 102 
Dalam menjatuhkan putusan yang berupa pengenaan tindakan, wajib diperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dan Pasal 55.

Pasal 103 
(1) Putusan tindakan berupa perawatan di rumah sakit jiwa dijatuhkan setelah pembuat tindak pidana dilepaskan dari segala tuntutan hukum dan yang bersangkutan masih dianggap berbahaya berdasarkan surat keterangan dari dokter ahli.
(2) Pembebasan dari tindakan perawatan di rumah sakit jiwa dikenakan, jika yang bersangkutan dianggap tidak berbahaya lagi dan tidak memerlukan perawatan lebih lanjut berdasarkan surat keterangan dari dokter ahli.

Pasal 104 
(1) Tindakan penyerahan kepada pemerintah, bagi orang dewasa dilakukan demi kepentingan masyarakat.
(2) Dalam putusan hakim ditentukan tempat dan bagaimana tindakan harus dijalankan.

Pasal 105 
(1) Tindakan berupa penyerahan kepada seseorang, dapat dikenakan kepada pembuat tindak pidana dewasa.
(2) Tindakan penyerahan kepada seseorang, bagi orang dewasa dilaku­kan demi kepentingan masyarakat.
(3) Dalam putusan hakim ditentukan tempat dan bagaimana tindakan harus dijalankan.

Pasal 106 
(1) Tindakan berupa pencabutan surat izin mengemudi dikenakan setelah mempertimbangkan:
a. keadaan yang menyertai tindak pidana yang dilakukan; 
b. keadaan yang menyertai pembuat tindak pidana; atau 
c. kaitan pemilikan surat izin mengemudi dengan usaha mencari nafkah. 
(2) Jika surat izin mengemudi dikeluarkan oleh negara lain, maka pencabutan surat izin mengemudi dapat diganti dengan larangan menggunakan surat izin tersebut di wilayah negara Republik Indonesia.
(3) Jangka waktu pencabutan surat izin mengemudi berlaku antara 1 (satu) tahun sampai 5 (lima) tahun.

Pasal 107 
(1) Tindakan berupa perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana dapat berupa uang, barang, atau keuntungan lain. 
(2) Jika hasil keuntungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berupa uang, maka pembuat tindak pidana dapat mengganti dengan sejumlah uang yang ditentukan oleh hakim.

Pasal 108 
Tindakan berupa perbaikan akibat tindak pidana dapat berupa perbaikan, penggantian, atau pembayaran harga taksiran kerusakan sebagai akibat tindak pidana tersebut. 

Pasal 109 
(1) Dalam mengenakan tindakan berupa latihan kerja, wajib dipertimbangkan:
a. kemanfaatan bagi pembuat tindak pidana; 
b. kemampuan pembuat tindak pidana; dan 
c. jenis latihan kerja.
(2) Dalam menentukan jenis latihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, wajib diper­hatikan latihan kerja atau pengalaman kerja yang pernah dilakukan, dan tempat tinggal pembuat tindak pidana.

Pasal 110
(1) Tindakan rehabilitasi dikenakan kepada pembuat tindak pidana yang:
a. kecanduan alkohol, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; dan/atau
b. mengidap kelainan seksual atau yang mengidap kelainan jiwa.
(2) Rehabilitasi dilakukan di lembaga rehabilitasi medis atau sosial, baik milik pemerintah maupun swasta.

Pasal 111 
Tindakan perawatan di lembaga harus didasarkan atas sifat berbahayanya pembuat tindak pidana yang melakukan tindak pidana tersebut sebagai suatu kebiasaan.

Pasal 112 
Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan jenis‑jenis tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 

Bagian Keempat
Pidana dan Tindakan bagi Anak

Pasal 113 
(1) Anak yang belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan. 
(2) Pidana dan tindakan bagi anak hanya berlaku bagi orang yang berumur antara 12 (dua belas) tahun dan 18 (delapan belas) tahun yang melakukan tindak pidana.

Pasal 114 
(1) Dengan memperhatikan ketentuan mengenai tujuan dan pedoman pemidanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dan Pasal 55, demi kepentingan masa depan anak, pemeriksaan di depan pengadilan dapat ditunda atau dihentikan setelah mendengar pertimbangan penyidik, penuntut umum, dan Petugas Kemasyarakatan. 
(2) Penundaan atau penghentian pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan syarat :
a. anak tidak akan melakukan tindak pidana; dan/atau 
b. anak dalam waktu tertentu harus mengganti semua atau sebagian kerugian yang ditimbulkan akibat perbuatan­nya. 

Pasal 115 
Ketentuan mengenai pemberatan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 dan Pasal 135, tidak berlaku terhadap anak yang melakukan pengulangan tindak pidana. 

Pasal 116 
(1) Pidana pokok bagi anak terdiri atas:
a. Pidana verbal :
1. pidana peringatan; atau
2. pidana teguran keras;
b. Pidana dengan syarat:
1. pidana pembinaan di luar lembaga;
2. pidana kerja sosial; atau 
3. pidana pengawasan;
c. Pidana denda; atau
d. Pidana pembatasan kebebasan:
1. pidana pembinaan di dalam lembaga;
2. pidana penjara; atau
3. pidana tutupan.
(2) Pidana tambahan terdiri atas:
a. perampasan barang‑barang tertentu dan/atau tagihan;
b. pembayaran ganti kerugian; atau
c. pemenuhan kewajiban adat.

Pasal 117 
Pidana verbal merupakan pidana ringan yang tidak mengakibatkan pambatasan kebebasan anak.

Pasal 118 
(1) Pidana dengan syarat merupakan pidana yang penerapannya dikaitkan dengan syarat‑syarat khusus yang diten­tukan dalam putusan.
(2) Syarat‑syarat khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tanpa mengurangi kemerdekaan beragama dan berpo­litik.

Pasal 119 
(1) Pidana pembinaan di luar lembaga dapat berupa keharusan: 
a. mengikuti program bimbingan dan penyuluhan yang dilakukan oleh pejabat pembina; 
b. mengikuti terapi di Rumah Sakit Jiwa; atau 
c. mengikuti terapi akibat penyalahgunaan alkohol, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya. 
(2) Jika selama pembinaan, anak melanggar syarat‑syarat khusus seba­gai­mana dimaksud dalam Pasal 118, maka pejabat pembina dapat mengusulkan kepada hakim pengawas untuk memperpanjang masa pembinaan yang lamanya tidak melampaui maksimum 2 (dua) kali masa pembinaan yang belum dilaksanakan.

Pasal 120 
(1) Pelaksanaan pidana kerja sosial untuk anak berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (3) dan ayat (4) dengan memperhatikan usia layak kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 
(2) Jika anak tidak memenuhi seluruh atau sebagian kewajiban dalam menjalankan pidana kerja sosial tanpa alasan yang sah, maka pejabat pembina dapat mengusulkan kepada hakim pengawas untuk memerintahkan anak tersebut mengulangi seluruh atau sebagian pidana kerja sosial yang dikenakan terhadapnya.
(3) Pidana kerja sosial untuk anak dijatuhkan paling singkat 7 (tujuh) jam dan paling lama 120 (seratus dua puluh) jam.

Pasal 121 
Ketentuan mengenai pidana pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, Pasal 78, dan Pasal 79 berlaku juga terhadap pidana pengawasan anak. 

Pasal 122 
Ketentuan mengenai pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 dan Pasal 81 berlaku juga bagi anak, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Bagian Keempat ini.

Pasal 123 
(1) Pidana denda bagi anak hanya dapat dijatuhkan terhadap anak yang telah berumur 16 (enam belas) tahun.
(2) Pidana denda yang dijatuhkan terhadap anak, paling banyak 1/2 (satu per dua) dari maksimum pidana denda yang diancamkan terhadap orang dewasa.
(3) Minimum khusus pidana denda tidak berlaku terhadap anak.

Pasal 124 
(1) Pidana pembatasan kebebasan diberlakukan dalam hal anak melaku­kan tindak pidana berat atau tindak pidana yang disertai dengan keke­rasan.
(2) Pidana pembatasan kebebasan yang dijatuhkan terhadap anak paling lama 1/2 (satu per dua) dari maksimum pidana penjara yang diancam­kan terhadap orang dewasa.
(3) Minimum khusus pidana penjara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) tidak berlaku terhadap anak.
(4) Ketentuan mengenai pidana penjara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1), ayat (3), ayat (4), Pasal 71, Pasal 72, Pasal 73, Pasal 74, dan Pasal 75 berlaku juga sepanjang dapat diberlakukan terha­dap pidana pembatasan kebebasan terhadap anak.

Pasal 125 
(1) Pidana pembinaan di dalam lembaga dilakukan di tempat latihan kerja atau lembaga pembinaan yang diseleng­garakan baik oleh pemerintah maupun swasta.
(2) Jika keadaan dan perbuatan anak akan membahayakan masya­rakat, maka dikenakan pidana pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Anak.
(3) Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Anak dilaksanakan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun.
(4) Setelah anak menjalani 1/2 (satu per dua) dari lamanya pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Anak dan berkelakuan baik, berhak mendapatkan pembebasan bersyarat.

Pasal 126 
(1) Pidana penjara terhadap anak hanya digunakan sebagai upaya terakhir. 
(2) Pidana penjara bagi anak dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Anak. 
(3) Jika tindak pidana yang dilakukan anak merupakan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka pidana yang dijatuhkan adalah pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.

Pasal 127 
Ketentuan mengenai pidana tutupan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 berlaku juga terhadap anak. 

Pasal 128 
Ketentuan mengenai pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98 dan Pasal 99 berlaku juga sepanjang ketentuan tersebut dapat diber­lakukan terhadap anak. 

Pasal 129 
(1) Setiap anak yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dan Pasal 41 dapat dikenakan tindakan:
a. perawatan di rumah sakit jiwa;
b. penyerahan kepada pemerintah; atau 
c. penyerahan kepada seseorang. 
(2) Tindakan yang dapat dikenakan terhadap anak tanpa menja­tuhkan pidana pokok adalah:
a. pengembalian kepada orang tua, wali, atau pengasuhnya;
b. penyerahan kepada Pemerintah;
c. penyerahan kepada seseorang;
d. keharusan mengikuti suatu latihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta; 
e. pencabutan surat izin mengemudi;
f. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
g. perbaikan akibat tindak pidana;
h. rehabilitasi; dan/atau
i. perawatan di lembaga.

Pasal 130 
(1) Tindakan penyerahan kepada seseorang, bagi anak dilakukan demi kepentingan anak yang bersangkutan.
(2) Tindakan perawatan terhadap anak yang melakukan tindak pidana di­mak­sudkan untuk membantu orang tua dalam mendidik dan mem­berikan bimbingan kepada anak yang bersangkutan.

Pasal 131 
Pelaksanaan ketentuan mengenai pidana anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 dan tindakan sebagaimana dimaksud Pasal 129 diatur lebih lanjut dalam Undang-undang.

Bagian Kelima
Faktor-faktor yang Memperingan dan Memperberat Pidana

Pasal 132 
Faktor-faktor yang memperingan pidana meliputi :
a. percobaan melakukan tindak pidana;
b. pembantuan terjadinya tindak pidana; 
c. penyerahan diri secara sukarela kepada yang berwajib setelah melakukan tindak pidana ;
d. tindak pidana yang dilakukan oleh wanita hamil;
e. pemberian ganti kerugian yang layak atau perbaikan kerusakan secara sukarela sebagai akibat tindak pidana yang dilakukan; 
f. tindak pidana yang dilakukan karena kegoncangan jiwa yang sangat hebat; 
g. tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat sebagaimana dimak­sud dalam Pasal 39; atau
h. faktor-faktor lain yang bersumber dari hukum yang hidup dalam masyarakat.

Pasal 133 
(1) Peringanan pidana adalah pengurangan 1/3 (satu per tiga) dari ancaman pidana maksimum maupun minimum khusus untuk tindak pidana tertentu.
(2) Untuk tindak pidana yang diancam pidana mati dan penjara seumur hidup, maksimum pidananya penjara 15 (lima belas) tahun.
(3) Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu, peringanan pidana dapat berupa perubahan jenis pidana dari yang lebih berat ke jenis pidana yang lebih ringan. 

Pasal 134 
Faktor-faktor yang memperberat pidana meliputi :
a. pelanggaran suatu kewajiban jabatan yang khusus diancam dengan pidana atau tindak pidana yang dilakukan oleh pegawai negeri dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatan;
b. penggunaan bendera kebangsaan, lagu kebangsaan, atau lambang negara Indonesia pada waktu melakukan tindak pidana;
c. penyalahgunaan keahlian atau profesi untuk melakukan tindak pidana; 
d. tindak pidana yang dilakukan orang dewasa bersama-sama dengan anak di bawah umur 18 (delapan belas) tahun; 
e. tindak pidana yang dilakukan secara bersekutu, bersama‑sama, dengan kekerasan, dengan cara yang kejam, atau dengan berencana; 
f. tindak pidana yang dilakukan pada waktu terjadi huru hara atau bencana alam; 
g. tindak pidana yang dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya; 
h. pengulangan tindak pidana; atau
i. faktor-faktor lain yang bersumber dari hukum yang hidup dalam masyarakat. 

Pasal 135 
Pemberatan pidana adalah penambahan 1/3 (satu per tiga) dari maksimum ancaman pidana. 

Pasal 136 
(1) Jika dalam suatu perkara terdapat faktor-faktor yang memperingan dan memperberat pidana secara bersama‑sama, maka maksimum ancaman pidana diperberat lebih dahulu, kemudian hasil pemberatan tersebut dikurangi 1/3 (satu per tiga).
(2) Berdasarkan pertimbangan tertentu, hakim dapat tidak menerapkan ketentuan mengenai peringanan dan pemberatan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Bagian Keenam
Perbarengan

Pasal 137 
(1) Jika suatu perbuatan memenuhi lebih dari satu ketentuan pidana yang diancam dengan ancaman pidana yang sama maka hanya dijatuhkan satu pidana.
(2) Jika suatu perbuatan diatur dalam aturan pidana umum dan aturan pidana khusus, maka hanya dikenakan aturan pidana khusus.

Pasal 138 
(1) Jika terjadi perbarengan beberapa tindak pidana yang saling berhubungan sehingga dipandang sebagai perbuatan berlanjut dan diancam dengan ancaman pidana yang sama, maka hanya dijatuhkan satu pidana.
(2) Jika tindak pidana perbarengan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diancam dengan pidana yang berbeda, maka hanya dijatuhkan pidana pokok yang terberat.
(3) Ketentuan mengenai penjatuhan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tindak pidana memalsu atau merusak mata uang dan menggunakan uang palsu atau uang yang dirusak tersebut.

Pasal 139 
(1) Jika terjadi perbarengan beberapa tindak pidana yang harus dipandang sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri dan diancam dengan pidana pokok yang sejenis, maka hanya dijatuhkan satu pidana.
(2) Maksimum pidana untuk tindak pidana perbarengan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah jumlah maksimum pidana yang diancamkan pada tindak pidana tersebut tetapi tidak melebihi maksimum pidana yang terberat ditambah 1/3 (satu per tiga).

Pasal 140 
(1) Jika terjadi perbarengan beberapa tindak pidana yang harus dipandang sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri dan diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis, maka pidana dijatuhkan adalah semua jenis pidana untuk masing-masing tindak pidana, tetapi tidak melebihi maksimum pidana yang terberat ditambah 1/3 (satu per tiga).
(2) Perhitungan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada lamanya maksimum pidana penjara pengganti denda.
(3) Apabila tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana minimum, maka minimum pidana untuk perbarengan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah jumlah pidana minimum khusus untuk masing-masing tindak pidana, tetapi tidak melebihi pidana minimum khusus terberat ditambah 1/3 (satu per tiga).

Pasal 141 
Jika dalam perbarengan tindak pidana dijatuhi pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka tidak boleh dijatuhi pidana lain, kecuali pidana tambahan, yakni :
a. pencabutan hak tertentu;
b. perampasan barang tertentu; dan/atau
c. pengumuman putusan hakim.

Pasal 142 
(1) Jika terjadi perbarengan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 dan Pasal 140, maka penjatuhan pidana tambahan dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. pidana-pidana pencabutan hak yang sama dijadikan satu, dengan ketentuan : 
1) lamanya paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun, lebih daripada pidana pokok yang diancamkan atau yang dijatuhkan; 
2) apabila pidana pokok yang diancamkan hanya pidana denda, lamanya paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun. 
b. pidana-pidana pencabutan hak yang berlainan, dijatuhkan sendiri-sendiri untuk tiap tindak pidana tanpa dikurangi.
c. pidana-pidana perampasan barang tertentu atau pidana pengganti dijatuhkan sendiri-sendiri untuk tiap tindak pidana tanpa dikurangi.
(2) Lamanya pidana penjara pengganti atau pidana pengawasan pengganti tidak boleh lebih dari 1 (satu) tahun.

Pasal 143
(1) Perbandingan beratnya pidana pokok yang tidak sejenis, ditentukan menurut urutan jenis pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2), pidana mati harus dipandang sebagai pidana yang terberat.
(2) Dalam hal hakim dapat memilih antara beberapa pidana pokok, hanya pidana yang terberat yang digunakan sebagai dasar perbandingan.
(3) Perbandingan beratnya pidana pokok yang sejenis, ditentukan menurut maksimum ancaman pidananya.
(4) Perbandingan lamanya pidana pokok, baik yang sejenis maupun yang tidak sejenis, ditentukan berdasarkan maksimum ancaman pidananya.

Pasal 144 
Jika seseorang setelah dijatuhi pidana, dinyatakan bersalah lagi melakukan tindak pidana lain sebelum putusan pidana itu dijatuhkan, maka pidana yang terdahulu diperhitungkan terhadap pidana yang akan dijatuhkan dengan menggunakan aturan perbarengan dalam Bab ini seperti apabila tindak pidana itu diadili secara bersamaan. 

BAB IV
GUGURNYA KEWENANGAN PENUNTUTAN DAN PELAKSANAAN PIDANA

Bagian Kesatu
Gugurnya Kewenangan Penuntutan

Pasal 145 
Kewenangan penuntutan gugur, jika:
a. telah ada putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap;
b. terdakwa meninggal dunia;
c. daluwarsa;
d. penyelesaian di luar proses;
e. maksimum denda dibayar dengan sukarela bagi tindak pidana yang dilakukan hanya diancam dengan pidana denda paling banyak kategori II;
f. maksimum denda dibayar dengan sukarela bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III;
g. Presiden memberi amnesti atau abolisi;
h. penuntutan dihentikan karena penuntutan diserahkan kepada negara lain berdasarkan perjanjian;
i. tindak pidana aduan yang tidak ada pengaduan atau pengaduannya ditarik kembali; atau 
j. pengenaan asas oportunitas oleh Jaksa Agung.

Pasal 146 
(1) Pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 huruf e dan huruf f serta biaya yang telah dikeluarkan jika penuntutan telah dimulai, dibayarkan kepada pejabat yang berwenang dalam tenggang waktu yang telah ditetapkan. 
(2) Jika dijatuhi pidana perampasan, maka barang yang dirampas harus diserahkan atau harus dibayar menurut taksiran pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jika barang tersebut sudah tidak berada dalam kekuasaan terpidana.
(3) Jika pidana diperberat karena pengulangan, maka pemberatan tersebut tetap berlaku sekalipun kewenangan menuntut pidana terhadap tindak pidana yang dilakukan lebih dahulu gugur berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan Pasal 145 huruf c dan huruf d.

Pasal 147 
Seseorang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam satu perkara yang sama, jika untuk perkara tersebut telah ada putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 

Pasal 148 
Apabila putusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147 berasal dari hakim luar negeri, maka terhadap orang yang melakukan tindak pidana yang sama tidak boleh diadakan penuntutan dalam hal:
a. putusan beb`s atau lepas dari segala tuntutan hukum; 
b. telah selesai menjalani pidana, mendapatkan grasi yang membe­baskan terpidana dari kewajiban menjalani pidana, atau pidana tersebut daluwarsa.

Pasal 149 
(1) Kewenangan penuntutan gugur karena daluwarsa:
a. sesudah lampau waktu 1 (satu) tahun untuk tindak pidana yang dilakukan dengan percetakan;
b. sesudah lampau waktu 2 (dua) tahun untuk tindak pidana yang hanya diancam dengan pidana denda atau semua tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun;
c. sesudah lampau waktu 6 (enam) tahun untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun;
d. sesudah lampau waktu 12 (dua belas) tahun untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lebih dari 3 (tiga) tahun;
e. sesudah lampau waktu 18 (delapan belas) tahun untuk tindak pidana yang diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup.
(2) Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun, tenggang waktu gugurnya kewenangan menuntut karena daluwarsa menjadi 1/3 (satu per tiga).

Pasal 150 
Daluwarsa dihitung sejak tanggal sesudah perbuatan dilakukan, kecuali:
a. tindak pidana pemalsuan atau merusak mata uang, daluwarsa dihitung satu hari berikutnya sejak tanggal setelah orang yang bersang­kutan menggunakan mata uang palsu atau yang dirusak untuk melakukan pembayaran;
b. tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 562, Pasal 563, Pasal 567, Pasal 565 dan Pasal 568, daluwarsa dihitung satu hari berikutnya sejak tanggal setelah korban tindak pidana dilepaskan atau mati sebagai akibat langsung dari tindak pidana tersebut.

Pasal 151 
(1) Tindakan penuntutan menghentikan tenggang waktu daluwarsa.
(2) Penghentian tenggang waktu daluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dihitung sejak tanggal setelah tersangka mengetahui atau diberitahukan mengenai penuntutan terhadap dirinya yang dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‑undangan yang berlaku.
(3) Jika penuntutan dihentikan, maka mulai berlaku tenggang daluwarsa baru.

Pasal 152 
Jika penuntutan dihentikan untuk sementara waktu karena ada sengketa hukum yang harus diputuskan lebih dahulu, maka tenggang waktu daluwarsa penuntutan menjadi tertunda sampai sengketa tersebut mendapatkan putusan. 

Bagian Kedua
Gugurnya Kewenangan Pelaksanaan Pidana 

Pasal 153 
Kewenangan pelaksanaan pidana gugur, jika:
a. terpidana meninggal dunia; 
b. daluwarsa eksekusi ;
c. terpidana mendapat grasi dan amnesti;
d. rehabilitasi; atau
e. penyerahan untuk pelaksanaan pidana ke negara lain.

Pasal 154 
Jika terpidana meninggal dunia, maka pidana perampasan barang tertentu dan/atau tagihan yang telah disita tetap dapat dilaksanakan. 

Pasal 155 
(1) Kewenangan pelaksanaan pidana penjara gugur karena daluwarsa, setelah berlaku tenggang waktu yang sama dengan tenggang waktu daluwarsa kewenangan menuntut ditambah 1/3 (satu per tiga) dari tenggang waktu daluwarsa tersebut. 
(2) Tenggang waktu daluwarsa pelaksanaan pidana harus melebihi lamanya pidana yang dijatuhkan.
(3) Pelaksanaan pidana mati tidak mempunyai tenggang waktu daluwarsa.
(4) Jika pidana mati diubah menjadi pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2), maka kewenangan pelaksanaan pidana gugur, karena daluwarsa setelah lewat waktu yang sama dengan tenggang waktu daluwarsa kewenangan menuntut sebagai­mana dimaksud dalam Pasal 149 ayat (1) huruf e ditambah 1/3 (satu per tiga) dari tenggang waktu daluwarsa tersebut.

Pasal 156 
(1) Tenggang waktu daluwarsa pelaksanaan pidana dihitung sejak tanggal putusan hakim dapat dilaksanakan.
(2) Jika narapidana melarikan diri sewaktu menjalani pidana, maka tenggang waktu daluwarsa dihitung sejak tanggal narapidana tersebut melarikan diri.
(3) Jika pembebasan bersyarat terhadap narapidana dicabut, maka tenggang waktu daluwarsa dihitung 1 (satu) hari sejak tanggal pencabutan.
(4) Tenggang waktu daluwarsa pelaksanaan pidana ditunda selama : 
a. pelaksanaan pidana tersebut ditunda berdasarkan peraturan perundang‑undangan; atau 
b. terpidana dirampas kemerdekaannya meskipun pencabutan kemer­de­kaan tersebut berkaitan dengan putusan pidana lain.

BAB V 
PENGERTIAN ISTILAH 

Pasal 157 
Anak dimaksud pula orang yang di bawah kekuasaan yang sama dengan kekuasaan bapak.

Pasal 158 
Anak Kunci adalah alat yang digunakan untuk membuka kunci, termasuk kode rahasia, kunci masuk komputer, kartu magnetik, atau signal yang telah diprogram yang dapat digunakan untuk membuka sesuatu oleh orang yang diberi hak untuk itu.

Pasal 159 
Anak kunci palsu adalah alat yang digunakan untuk membuka kunci tetapi yang tidak dibuat untuk maksud tersebut.

Pasal 160 
Ancaman kekerasan adalah suatu hal atau keadaan yang menimbulkan ra­sa takut, cemas, atau khawatir pada orang yang diancam. 

Pasal 161 
Awak kapal adalah orang tertentu yang berada di kapal sebagai perwira atau bawahan.

Pasal 162 
Awak pesawat udara adalah orang tertentu yang berada dalam pesawat udara sebagai perwira atau bawahan.

Pasal 163 
Bangunan listrik adalah bangunan yang digunakan untuk membangkitkan, mengalirkan, mengubah, atau menyerahkan tenaga listrik, termasuk alat yang berhubungan dengan itu, yaitu alat penjaga keselamatan, alat pema­sang, alat pendukung, alat pencegah, atau alat pemberi peringatan.

Pasal 164 
Bapak dimaksud pula orang yang menjalankan kekuasaan yang sama dengan bapak.

Pasal 165 
Barang adalah benda berwujud termasuk air dan uang giral, dan benda tidak berwujud termasuk aliran listrik, gas, data dan program komputer, jasa termasuk jasa telepon, jasa telekomunikasi, atau jasa komputer. 

Pasal 166 
Benda cagar budaya adalah: 
a. benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh), dan kebudayaan; 
b. benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.

Pasal 167 
Bulan adalah waktu selama 30 (tiga puluh) hari.

Pasal 168 
Dalam penerbangan adalah jangka waktu sejak saat semua pintu luar pesawat udara ditutup setelah naiknya penumpang sampai saat pintu dibuka untuk penurunan penumpang, atau dalam hal terjadi pendaratan darurat penerbangan dianggap terus berlangsung sampai saat penguasa yang berwenang mengambil alih tanggung jawab atas pesawat udara dan barang yang ada di dalamnya.

Pasal 169 
Dalam dinas penerbangan adalah jangka waktu sejak saat pesawat udara disiapkan oleh awak darat atau oleh awak pesawat untuk penerbangan tertentu sampai lewat 24 (dua puluh empat) jam sesudah pendaratan. 

Pasal 170 
Data komputer adalah suatu representasi fakta-fakta, informasi atau konsep-konsep dalam suatu bentuk yang sesuai untuk prosesing di dalam suatu system komputer, termasuk suatu program yang sesuai untuk memungkinkan suatu system komputer untuk melakukan suatu fungsi.

Pasal 171 
Hari adalah waktu selama 24 (dua puluh empat) jam.

Pasal 172 
Harta kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud.

Pasal 173 
Informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik diantaranya meliputi teks, simbol, gambar, tanda-tanda, isyarat, tulisan, suara, bunyi, dan bentuk-bentuk lainnya yang telah diolah sehingga mempunyai arti.

Pasal 174 
Jaringan Telepon adalah termasuk jaringan komputer atau sistem komunikasi komputer. 

Pasal 175 
Kapal adalah kendaraan air dengan bentuk dan jenis apapun, yang digerakkan dengan tenaga mekanik, tenaga angin, atau ditunda, termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis, kendaraan di bawah permukaan air, serta alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah.

Pasal 176 
Kapal Indonesia adalah kapal yang didaftar di Indonesia dan memperoleh surat tanda kebangsaan kapal Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

Pasal 177 
Kapten pilot adalah orang yang memegang kekuasaan tertinggi dalam pesawat udara atau orang yang menggantikannya. 

Pasal 178 
Kekerasan adalah setiap perbuatan penyalahgunaan kekuatan fisik dengan atau tanpa menggunakan sarana secara melawan hukum dan menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa, kemerdekaan, penderitaan fisik, seksual, psikologis, termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya.

Pasal 179 
Kekuasaan Bapak mencakup pula kekuasaan kepala keluarga.

Pasal 180 
Kode akses adalah angka, huruf, simbol lainnya atau kombinasi diantaranya yang merupakan kunci untuk dapat mengakses komputer, jaringan komputer, internet, atau media elektronik lainnya.

Pasal 181 
Komputer adalah alat pemroses data elektronik, magnetik, optikal, atau sistem yang melaksanakan fungsi logika, aritmatika, dan penyimpanan.

Pasal 182 
Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

Pasal 183 
Luka berat adalah : 
a. sakit atau luka yang tidak ada harapan untuk sembuh dengan sempurna atau yang dapat menimbulkan bahaya maut;
b. terus-menerus tidak cakap lagi melakukan tugas, jabatan, atau pekerjaan;
c. tidak dapat menggunakan lagi salah satu panca indera atau salah satu anggota tubuh
d. cacat berat (kudung);
e. lumpuh;
f. daya pikir terganggu selama lebih dari 4 (empat) minggu; atau
g. gugur atau matinya kandungan.

Pasal 184 
Makar adalah niat untuk melakukan suatu perbuatan yang telah diwu­judkan dengan adanya permulaan pelaksanaan perbuatan tersebut.

Pasal 185 
Malam adalah waktu di antara matahari terbenam dan matahari terbit.

Pasal 186 
Masuk adalah termasuk mengakses komputer atau masuk ke dalam sistem komputer.

Pasal 187 
Memanjat adalah termasuk masuk dengan melalui lobang yang sudah ada tetapi tidak untuk tempat orang lewat, atau masuk melalui lobang dalam tanah yang sengaja digali, atau masuk melalui atau menyeberangi selokan atau parit yang gunanya sebagai penutup halaman.

Pasal 188 
Musuh adalah termasuk pemberontak, negara atau kekuasaan yang diperkirakan akan menjadi lawan perang.

Pasal 189 
Nakhoda adalah orang yang memegang kekuasaan tertinggi di kapal atau orang yang menggantikannya.

Pasal 190 
(1) Pegawai negeri adalah setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas negara, atau diserahi tugas lain oleh negara, dan digaji berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 
(2) Pegawai negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas :
a. Pegawai Negeri Sipil;
b. Anggota Tentara Nasional Indonesia; dan
c. Angggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(3) Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas :
a. Pegawai Negeri Sipil Pusat;
b. Pegawai Negeri Sipil Daerah; dan
c. Pegawai tidak tetap yang diangkat oleh pejabat yang berwenang.

Pasal 191 
Orang tua dimaksud pula kepala keluarga.

Pasal 192 
Pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.

Pasal 193
Penggulingan pemerintahan adalah meniadakan atau mengubah susunan pemerintahan dengan cara yang tidak sah menurut ketentuan peraturan perundang‑undangan yang berlaku.

Pasal 194 
Pengusaha atau pedagang adalah orang yang menjalankan perusahaan atau usaha dagang.

Pasal 195
Penumpang adalah orang selain nakhoda dan awak kapal yang berada di kapal atau orang selain kapten pilot atau awak pesawat udara yang berada dalam pesawat udara.

Pasal 196 
Penyedia Jasa Keuangan adalah setiap orang yang menyediakan jasa di bidang keuangan atau jasa lainnya yang terkait dengan keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, kustodian, wali amanat, lembaga penyinpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun, perusahaan asuransi, dan kantor pos.

Pasal 197 
Perang adalah termasuk perang saudara. 

Pasal 198 
Perbuatan adalah termasuk perbuatan yang dilakukan atau perbuatan yang tidak dilakukan yang merupakan tindak pidana menurut peraturan perundang-undangan atau hukum yang berlaku.

Pasal 199 
Permainan judi adalah: 
a. setiap permainan yang kemungkinan untuk mendapat untung tergantung pada untung‑untungan belaka; 
b. setiap permainan yang kemungkinan untuk mendapatkan untung tersebutbertam­bah besar, karena pemainnya lebih terlatih atau lebih mahir; 
c. semua pertaruhan tentang hasil perlombaan atau permainan lainnya yang dilakukan oleh setiap orang yang bukan turut berlomba atau turut bermain; atau 
d. pertaruhan lainnya. 

Pasal 200 
Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan.

Pasal 201 
Pesawat udara Indonesia adalah pesawat udara termasuk pesawat ruang angkasa, yang didaftarkan di Indonesia dan memperoleh surat tanda kebangsaan pesawat udara Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk pesawat udara asing yang disewa tanpa awak pesawat dan dioperasikan oleh perusahaan penerbangan Indonesia.

Pasal 202 
Pornoaksi adalah perbuatan mengekploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika di muka umum.

Pasal 203 
Pornografi adalah substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika.

Pasal 204 
Ruang adalah termasuk bentangan atau terminal komputer yang dapat diakses dengan cara-cara tertentu.

Pasal 205 
Setiap orang adalah orang perseorangan, termasuk korporasi. 

Pasal 206 
Sistem komputer adalah suatu alat atau perlengkapan atau suatu perangkat perlengkapan yang saling berhubungan atau terkait satu sama lain, satu atau lebih yang mengikuti suatu program, melakukan prosesing data secara otomatik.

Pasal 207 
Surat adalah surat yang tertulis di atas kertas, termasuk juga surat atau data yang tertulis atau tersimpan dalam disket, pita magnetik, atau media penyimpan komputer atau media penyimpan data elektronik lain.

Pasal 208 
Ternak adalah hewan yang berkuku satu, hewan yang memamah biak, atau babi.

.Pasal 209
Tindak pidana mencakup juga permufakatan jahat, persiapan, percobaan, dan pembantuan melakukan tindak pidana, kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang‑undangan.

Pasal 210 
Waktu perang adalah termasuk waktu di mana bahaya perang mengancam dan/atau ada perintah untuk mobilisasi Tentara Nasional Indonesia dan selama keadaan mobilisasi tersebut masih berlangsung. 

BAB VI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 211 
Ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab V Buku Kesatu berlaku juga bagi perbuatan yang dapat dipidana menurut peraturan perundang‑undangan lain, kecuali ditentukan lain menurut peraturan perundang-undangan tersebut.

Post a Comment